+6281931384789 Jl. Merdeka Timur No.KM 4, Mungguk, Kec. Sekadau Hilir, Kab. Sekadau, Kalbar 79516
Launching Buku Antologi Tembawang
Lupung Cafe-ITKK, October 31, 2025, Sekadau, West Kalimantan
Judul Gambar 1
Judul Gambar 1 Caption penjelasan gambar 1
Judul Gambar 2
Judul Gambar 2 Penjelasan isi gambar 2 dan shrink aktif
Home Buku Dayak Novel

Jejak yang Hilang, Suara yang Menanti — Resensi Novel Kantu’: Jejak yang Terhapus di Tanah Dayak

"Suku Kantu, Dayak Ibanic, budaya Sarawak, resensi buku, identiti pribumi, adat Dayak, ekologi Borneo, rumah panjang, anyarmart"


Di tengah rimba Borneo, ada suara kecik macam bisik nyawa: “Inikah rumah aku?” Buncel, anak muda suku Kantu’, berdiri terpaku dalam hutan yang makin botak, batang kayu tumbang sana-sini. Soalan nya bukan untuk diri dia aja, tapi untuk semua bangsa yang makin hilang akar di tanah asal. Dari situ lah Ambrosius Suminto buka pintu cerita dalam bukunya Kantu’: Jejak yang Terhapus di Tanah Dayak. Bukan novel biasa, bro, tapi satu jeritan, satu doa, satu cermin—macam kitak duduk ngadap diri sendiri dalam sungai yang makin keruh.

Cerita Buncel tok bergerak cara yang sik lurus. Kadang-kadang kitak rasa duduk di serambi rumah panjang, asap dapur naik, orang tua mula berandau. Suminto bawa kita jalan-jalan masuk ke legenda penciptaan Renung Tusut, lalu masuk upacara adat macam Nyengkelatn Tanah, Jadi Saump, Gawa’ Bediri. Kitak terasa aura orang berebut bedurouk, sama-sama berimpouh, bergotong-royong dalam Rumah Panjai. Sambil baca, rasa macam kitak ikut sama angkat kayu, macam dengar gong dipalu, macam dengar suara orang lama bergema dalam malam panjang.

Tapi jangan fikir buku tok hanya etnografi. Suminto pandai selit makna—dia tunjuk jelas bagaimana projek HPH, HTI, sama ladang sawit ngikis bukan aja tanah, tapi roh bangsa. Bila hutan hilang, sik hanya burung kenyalang ilang, tapi bahasa pun hilang, lagu sik dinyanyi, ritual sik dibuat, malah rasa bangga jadi anak suku pun sikit-sikit makin pupus. Pembaca di Sarawak dan Sabah tentu faham. Kita pun ada pengalaman sungai jernih jadi keruh, kampung pindah sebab ladang komersial. Jadi bila Buncel tanya “ke mana roh moyang nak pulang kalau hutan pun botak?”—itu bukan soalan orang jauh, tapi soalan kitak pun sama.


Bahasa Suminto memang kaya. Dia sik sebut hutan itu “hutan” aja, tapi “pengukir nama tanah”. Sungai bagi dia “urat nadi roh manusia dengan alam”. Indah memang, tapi kadang kala gaya puitis tok buat pembaca macam sesat di simpang. Cerita lompat dari mitos, ke masa kini, ke sejarah ngayau, kadang sik tanda jelas. Kitak kena sabar, macam jalan kaki dalam hutan—sekali-sekala tersesat, tapi akhirnya jumpa jalan keluar.

Buku setebal 138 muka surat tok ada glosarium. Jadi pembaca luar pun boleh faham bila jumpa istilah pelik macam “antu pala’” atau “ngayau”. Tapi bagi kitak orang Sarawak, istilah tok semua sik asing. Malah terasa macam dengar orang Iban di Kapit cerita, atau orang Ulu berandau di Limbang. Macam jumpa saudara jauh, tapi darah sama.

Yang kuat lagi, Suminto sik hanya reka-reka. Dia masuk wawancara terus dengan pemuka adat Laurentius Herman Kadir. Suara real tok bagi buku rasa hidup, macam dokumentari bercampur novel. Sebab tu buku tok rasa unik: ada roh fiksyen, ada roh esai, ada roh etnografi.

Tapi, mun kitak jenis suka cerita ada letupan konflik, buku tok sik banyak drama. Konflik dia lebih ke dalam hati, simbolik, bukan pergaduhan besar. Dialog pun kadang jadi panjang, macam monolog. Ada orang mungkin rasa boring, tapi bagi orang yang tahu rasa hening, tok la masa untuk renung.

Apa yang buat buku tok penting untuk orang Sarawak dan Sabah ialah resonansi budaya dan ekologi. Banyak adat Kantu’ sama dengan adat kita. Isu hutan, isu tanah, isu kapital—semua sama saja. Membaca Kantu’ tok bukan baca cerita orang Indonesia saja, tapi cerita kitak, cerita aku, cerita kita semua yang duduk di tanah Borneo.

Di hujungnya, Kantu’: Jejak yang Terhapus di Tanah Dayak sik berniat kasi kitak hibur dengan aksi, tapi kasi kitak ingat dengan akar. Ia suara tepi hutan, pelan tapi dalam. Mun kitak abaikan, hilanglah suara tok, sama macam hilang banyak sudah bahasa dan adat kita.

Aku rasa buku tok patut ada dalam rumah panjang, dalam sekolah, dalam perpustakaan kampung. Nilai dia bukan hiburan, tapi kesedaran. Ia tanya kitak terus: “Adakah jejak kita pun sikit-sikit terhapus?” Bacalah, resaplah. Setiap halaman macam amaran, tapi juga macam doa.

Dan untuk kitak yang tergerak hati nak memiliki buku tok, boleh terus dapatkan di kedai distributor rasmi: anyarmart.com. Di situlah tempat sah beli, supaya suara hutan dalam halaman tok boleh singgah ke rumah panjang kitak.

Tertarik untuk mendaftar?

Dapatkan info LSD sekarang!