+6281931384789 Jl. Merdeka Timur No.KM 4, Mungguk, Kec. Sekadau Hilir, Kab. Sekadau, Kalbar 79516
Launching Buku Antologi Tembawang
Lupung Cafe-ITKK, October 31, 2025, Sekadau, West Kalimantan
Judul Gambar 1
Judul Gambar 1 Caption penjelasan gambar 1
Judul Gambar 2
Judul Gambar 2 Penjelasan isi gambar 2 dan shrink aktif
Home Kritik Sastra

Ini Alasan Juri Memilih Cerpen Madang Engkabang Rinda Karya Oktavianus Ngumbang Jadi Juara Tiga

"Cerpen Madang Engkabang Rinda, cerpen Oktavianus Ngumbang, lomba cerpen tembawang, kritik sastra dayak"

Cerpen Madang Engkabang Rinda, Oktavianus Ngumbang
Idea ilustrasi Wisnu Pamungkas, generate AI

Ketika bulldozer masuk ke hutan adat, api perjuangan berkobar di hati generasi muda. Oktavianus Ngumbang lewat “Madang Engkabang Rinda” menghadirkan narasi advokasi Dayak yang utuh: tentang tembawang, tentang persahabatan, tentang martabat yang dipertahankan. Jaya Ramba ketua dewan juri lomba Cerpen Tembawang lintas negara yang dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2025, lewat laporannya, membuka lapisan demi lapisan kisah ini hingga kita melihatnya bukan sekadar cerpen, melainkan seruan ekologi dan budaya yang relevan dengan zaman.

Cerpen ini mengangkat isu perjuangan mempertahankan tembawang (hutan adat) daripada ancaman korporat untuk ladang kelapa sawit. Cerpen ini temanya sangat relevan dengan isu semasa seperti deforestasi, eksploitasi tanah adat dan identiti budaya Dayak. Penulis berjaya menyatukan kesedaran ekologi, perjuangan adat dan konflik generasi muda dalam naratif yang menyentuh hati. Inilah faktor kuat yang membuat cerpen ini dipandang juri sebagai karya bernilai perjuangan dan advokasi budaya.

Penulis menjadikan  latar & atmosfera yang hidup dengan awal cerita sangat kuat dengan deskripsi alam seperti kabut, embun, bunyi hutan, aroma tanah basah. Sedangkan latar adalah rumah betang, tembawang, dan ritual Dayak digambarkan autentik, menghadirkan suasana kampung Dayak Kalimantan secara jelas. Elemen alam bukan sekadar hiasan tetapi berfungsi sebagai roh cerita, berkanaan hutan yang bernyawa dan warisan yang hidup.

Penulis menggunakan bahasa deskriptif untuk memperkuat daya imaji dan memberi kesan etnografis yang menonjol. Seterusnya disentuh tentang konflik dan ketegangan yang realistik. Maka konflik utama adalah antara menjaga warisan (tembawang) dengan godaan pembangunan sawit. Pertentangan batin tokoh Jangge dengan sahabat lamanya, Andeng telah memberikan dimensi emosional yang kuat. Cerpen ini juga menghadirkan konflik horizontal masyarakat yang menjadi sebagian tergiur janji perusahaan dan sebagian teguh mempertahankan adat. Puncak ketegangan ketika bulldozer masuk, pemuda membakar ban dan tokoh hampir hanyut oleh emosi ini telah menciptakan dinamika dramatik yang meyakinkan. Konflik yang multi-dimensi ini memberi kekuatan naratif, tidak hitam putih melainkan penuh dilema.

Sesuatu yang istimewa apabila watak dan pembangunan karakter boleh direnung pada watak “Jangge” sebagai mewakili generasi muda berpendidikan dan pulang membawa kesedaran baru. Sedangkan watak “Natalia” ini gadis yang mewakili ilmu pengetahuan dan bukti akademik, sekaligus figur pengimbang emosi Jangge. Apai Jugah pula adalah simbol kearifan tua, pengikat sejarah leluhur dengan generasi muda. Andeng pula adalah representasi anak kampung yang tergoda moderniti tetapi akhirnya insaf dan menciptakan narasi redemptif. Karakter-karakter ini seimbang, berfungsi dan masing-masing membawa nilai dalam plot.

Kisah dalam cerpen ini memiliki struktur naratif dan penyelesaian dengan begitu rapi sekali. Maksud  cerita mengalir rapi adalah (1) Pulang kampung, (2) Kenal ancaman (3) Konflik batin & sosial (4) Aksi advokasi – (5) Kemenangan moral. Pengakhiran cerpen ini ditutup dengan upacara adat, pengakuan hutan adat secara hukum dan pengembalian martabat masyarakat. Ada kesinambungan emosional dari awal (kabut, hutan bernyawa) hingga akhir (suara burung enggang, harapan masa depan). Maka, struktur ini menjadikan cerpen utuh, membekas dan meneguhkan nilai perjuangan.

Dalam perkara lain, setiap karya akan diperhatikan gaya bahasa. Terbukti bahasa cerpen ini cukup indah namun sederhana dan tidak serumit gaya metafora berat sehingga mudah diterima khalayak luas. Penulis piawai mencampur bahasa puitis deskriptif (tentang alam) dengan bahasa dialog realistik (antara tokoh). Keaslian penggunaan beberapa istilah budaya Dayak seperti tembawang, rumah betang, Apai, tuak, tarian gantar telah memberi kekuatan etnografi. Bahasa sederhana tetapi komunikatif telah memberi kekuatan menyampaikan pesan.

Kenapa cerpen ini menjadi Juara 3. Sudah tentu tema kuat dan relevan dengan perjuangan hutan adat menentang kapitalisme sawit. Latar budaya autentik menjadikan identiti Dayak yang jarang digarap dengan konsisten. Konflik realistik dan dramatik yang menimbulkan konflik personal dan sosial hingga politik hukum. Pesan ekologis dan advokasi dengan mengajak pembaca pada kesedaran lingkungan dan pentingnya adat. Bahasa mudah dicerna dan naratif utuh membuatkan cerpen ini dapat dinikmati pembaca awam mahupun akademis. Namun, berbanding Juara 1 dan 2 (yang mungkin lebih eksperimental, lebih padat metafora, atau lebih segar dalam inovasi gaya), cerpen ini tetap terasa “klasik dan konvensional”. Ia kuat dari segi tema dan struktur tetapi mungkin tidak seberani pemenang di atasnya dalam hal gaya bahasa atau bentuk bercerita.

Pada kesimpulannya bahawa cerpen ini dipilih menjadi Juara 3 kerana ia adalah karya bernilai advokasi, berakar pada budaya Dayak dengan naratif yang jelas, konflik yang meyakinkan dan penyelesaian penuh harapan. Walaupun tidak sekuat pemenang 1 dan 2 dalam hal inovasi bahasa atau eksperimentasi bentuk, karya ini tetap menjadi “suara penting” tentang “identiti, ekologi, dan perjuangan tanah adat.”
Tertarik untuk mendaftar?

Dapatkan info LSD sekarang!