Ini Alasan Juri Memilih Cerpen Madang Engkabang Rinda Karya Oktavianus Ngumbang Jadi Juara Tiga
"Cerpen Madang Engkabang Rinda, cerpen Oktavianus Ngumbang, lomba cerpen tembawang, kritik sastra dayak"
Idea ilustrasi Wisnu Pamungkas, generate AI
Ketika bulldozer masuk ke hutan adat, api
perjuangan berkobar di hati generasi muda. Oktavianus Ngumbang lewat “Madang
Engkabang Rinda” menghadirkan narasi advokasi Dayak yang utuh: tentang tembawang,
tentang persahabatan, tentang martabat yang dipertahankan. Jaya Ramba ketua
dewan juri lomba Cerpen Tembawang lintas negara yang dilaksanakan pada bulan
Juni-Juli 2025, lewat laporannya, membuka lapisan demi lapisan kisah ini hingga
kita melihatnya bukan sekadar cerpen, melainkan seruan ekologi dan budaya yang
relevan dengan zaman.
Cerpen ini mengangkat isu
perjuangan mempertahankan tembawang (hutan adat) daripada ancaman korporat
untuk ladang kelapa sawit. Cerpen ini temanya sangat relevan dengan isu semasa
seperti deforestasi, eksploitasi tanah adat dan identiti budaya Dayak. Penulis
berjaya menyatukan kesedaran ekologi, perjuangan adat dan konflik generasi muda
dalam naratif yang menyentuh hati. Inilah faktor kuat yang membuat cerpen ini
dipandang juri sebagai karya bernilai perjuangan dan advokasi budaya.
Penulis menjadikan latar & atmosfera yang hidup dengan awal
cerita sangat kuat dengan deskripsi alam seperti kabut, embun, bunyi hutan,
aroma tanah basah. Sedangkan latar adalah rumah betang, tembawang, dan ritual
Dayak digambarkan autentik, menghadirkan suasana kampung Dayak Kalimantan
secara jelas. Elemen alam bukan sekadar hiasan tetapi berfungsi sebagai roh
cerita, berkanaan hutan yang bernyawa dan warisan yang hidup.
Penulis menggunakan
bahasa deskriptif untuk memperkuat daya imaji dan memberi kesan etnografis yang
menonjol. Seterusnya disentuh tentang konflik dan ketegangan yang realistik.
Maka konflik utama adalah antara menjaga warisan (tembawang) dengan godaan
pembangunan sawit. Pertentangan batin tokoh Jangge dengan sahabat lamanya,
Andeng telah memberikan dimensi emosional yang kuat. Cerpen ini juga
menghadirkan konflik horizontal masyarakat yang menjadi sebagian tergiur janji
perusahaan dan sebagian teguh mempertahankan adat. Puncak ketegangan ketika
bulldozer masuk, pemuda membakar ban dan tokoh hampir hanyut oleh emosi ini
telah menciptakan dinamika dramatik yang meyakinkan. Konflik yang multi-dimensi
ini memberi kekuatan naratif, tidak hitam putih melainkan penuh dilema.
Sesuatu yang istimewa
apabila watak dan pembangunan karakter boleh direnung pada watak “Jangge”
sebagai mewakili generasi muda berpendidikan dan pulang membawa kesedaran baru.
Sedangkan watak “Natalia” ini gadis yang mewakili ilmu pengetahuan dan bukti
akademik, sekaligus figur pengimbang emosi Jangge. Apai Jugah pula adalah
simbol kearifan tua, pengikat sejarah leluhur dengan generasi muda. Andeng pula
adalah representasi anak kampung yang tergoda moderniti tetapi akhirnya insaf
dan menciptakan narasi redemptif. Karakter-karakter ini seimbang, berfungsi dan
masing-masing membawa nilai dalam plot.
Kisah dalam cerpen ini
memiliki struktur naratif dan penyelesaian dengan begitu rapi sekali.
Maksud cerita mengalir rapi adalah (1)
Pulang kampung, (2) Kenal ancaman (3) Konflik batin & sosial (4) Aksi
advokasi – (5) Kemenangan moral. Pengakhiran cerpen ini ditutup dengan upacara
adat, pengakuan hutan adat secara hukum dan pengembalian martabat masyarakat.
Ada kesinambungan emosional dari awal (kabut, hutan bernyawa) hingga akhir
(suara burung enggang, harapan masa depan). Maka, struktur ini menjadikan
cerpen utuh, membekas dan meneguhkan nilai perjuangan.
Dalam perkara lain,
setiap karya akan diperhatikan gaya bahasa. Terbukti bahasa cerpen ini cukup
indah namun sederhana dan tidak serumit gaya metafora berat sehingga mudah
diterima khalayak luas. Penulis piawai mencampur bahasa puitis deskriptif
(tentang alam) dengan bahasa dialog realistik (antara tokoh). Keaslian
penggunaan beberapa istilah budaya Dayak seperti tembawang, rumah betang, Apai,
tuak, tarian gantar telah memberi kekuatan etnografi. Bahasa sederhana tetapi
komunikatif telah memberi kekuatan menyampaikan pesan.
Kenapa cerpen ini menjadi
Juara 3. Sudah tentu tema kuat dan relevan dengan perjuangan hutan adat
menentang kapitalisme sawit. Latar budaya autentik menjadikan identiti Dayak
yang jarang digarap dengan konsisten. Konflik realistik dan dramatik yang
menimbulkan konflik personal dan sosial hingga politik hukum. Pesan ekologis
dan advokasi dengan mengajak pembaca pada kesedaran lingkungan dan pentingnya
adat. Bahasa mudah dicerna dan naratif utuh membuatkan cerpen ini dapat
dinikmati pembaca awam mahupun akademis. Namun, berbanding Juara 1 dan 2 (yang
mungkin lebih eksperimental, lebih padat metafora, atau lebih segar dalam
inovasi gaya), cerpen ini tetap terasa “klasik dan konvensional”. Ia kuat dari
segi tema dan struktur tetapi mungkin tidak seberani pemenang di atasnya dalam
hal gaya bahasa atau bentuk bercerita.