Cerpen Doa Akar Maria Fransiska Juara Dua, Lomba Cerpen Tembawang Lintas Negara
"Cerpen Doa Akar, cerpen Maria Fransiska, Cerpen Tembawang Lintas Negara, kritik sastra Dayak "
![]() |
Idea ilustrasi by Wisnu Pamungkas, generate by AI |
Ada akar yang menanam doa, ada tanah yang pernah menelan darah. Dari Kalimantan, Maria Fransiska menulis “Doa Akar” yang menyatukan mitos, sejarah, dan realitas sosial menjadi kisah magis-realistis penuh daya gugah. Kita diajak menyelami kedalaman simbol, ritual, dan konflik sosial yang membuat cerpen ini menyayat sekaligus menyembuhkan. Jaya Ramba ketua dewan juri lomba Cerpen Tembawang lintas negara yang dilaksanakan pada bulan Juni-Juli 2025, memberikan catatan sebagai berikut.
Cerpen berjudul “Doa
Akar” ini memang layak sebagai pemenang kerana memiliki kreteria yang
dikehendaki. Ia menonjolkan beberapa kekuatannya dan ini mengangkat “konflik
tanah adat” yang menjadi isu besar di Kalimantan dan Nusantara pada umumnya.
Pertentangan antara nilai tradisi (tanah sebagai sakral, warisan, roh penjaga)
dengan desakan modern (ekonomi, utang, pendidikan, harga barang mahal) digarap
dengan sangat hidup. Tema ini “aktual” yang sarat dengan “kritik sosial”
sekaligus berakar pada budaya Dayak, menjadikannya kuat dalam konteks lomba
yang merayakan identiti lokal.
Cara pengolahan Budaya
dan Ritual di mana penulis memasukkan detail-detail ritual dan istilah lokal seperti
“mpokan pedagi” dan “mpokan topetn” serta sesaji (nasi pulut, sirih-pinang,
bulu ayam, tuak) hingga mantera-mantera lama.
Penyisipan unsur budaya ini tidak sekadar ornamen tetapi menjadi “jiwa
cerita” yang menunjukkan bagaimana tanah bukan sekadar benda ekonomi melainkan
ruang sakral yang menyimpan roh dan doa leluhur. Hal ini memberi kedalaman
antropologis yang menambah nilai sastera dan keaslian.
Isi cerpen ini cukup
dengan kekuatan Simbol dan metafora. Ia menjadi “akar” dipersonifikasikan
sebagai pelindung, penjaga, bahkan saksi bisu sejarah berdarah. Simbol akar
sebagai “penjaga doa” menjadi benang merah yang menghubungkan kerusuhan 1998,
trauma masa lalu hingga ancaman eksploitasi modern. Peristiwa tanah terbelah,
burung kuchu jatuh, dan akar mencabut patok merah adalah klimaks
magis-realistis yang kuat dan telah memberi gema antara mitos dan kenyataan.
Pada bahagian dan unsur
lain, kekuatan Konflik dan Dialog pada cerpen ini juga memiliki kuasa lain.
Contohnya, pada konflik utama: “Lian melawan arus warga kampung” yang ingin
menjual tanah demi bertahan hidup. Dialog-dialog antara Lian, Pak Ujan, Pak
Marut, ibunya dan Nek Kampau terasa hidup, berlapis dan natural. Dialog tidak
hitam-putih di mana tokoh kampung memiliki alasan realistis (biaya sekolah,
makan, kesehatan), sementara Lian membawa idealisme (warisan, roh tanah).
Ketegangan ini menambah kedalaman psikologi cerita.
Sedangkan pada gaya bahasa
dan atmosfera cerpen ini puitis sekaligus naratif termasuk ada campuran lirisme
seperti “tanah pernah menelan darah”, “akar menanam doa” dengan jelas realistik
(jenis tumbuhan, suasana kampung, bunyi mesin giling padi). Nuansa
“realistik-magis” ala Gabriel García Márquez atau Eka Kurniawan tampak jelas
membuat cerita terasa sakral sekaligus mencekam. Penggunaan istilah lokal
(ucokng, tasapm, kantong semar, kalangkala) memperkaya tekstur cerita,
membangun dunia khas Dayak yang otentik.
Ia tidak berakhir begitu
sahaja kerana diambil kira nilai pesan moral dan filosofis. Cerpen ini
mengajukan pertanyaan besar: Apakah warisan leluhur lebih penting daripada
kebutuhan hidup saat ini? Ia tidak memberi jawaban hitam-putih tetapi
menunjukkan konsekuensi dari melupakan akar. Pesan moralnya kuat: tanah bukan
sekadar harta benda melainkan identiti, sejarah dan tempat pulang.
Alasan Hanya Juara 2 dan
bukan Juara 1, ada kemungkinan juri melihat cerpen ini sudah sangat kuat secara
tema dan simbol, namun ada bagian yang terasa “agak panjang” dengan jelas
berulang (seperti kenangan masa kecil Lian) yang boleh dipadatkan. Akhir cerita
meski kuat, masih “agak kabur”: akar muncul, patok jatuh, tapi keputusan
konflik sosial belum benar-benar “selesai”. Mungkin cerpen juara 1 lebih padat dan
memiliki kejutan lebih besar atau menawarkan struktur naratif yang lebih
tuntas.
Kesimpulan yang diberikan
untuk “Doa Akar” dipilih juara 2 kerana ia mengangkat tema tanah adat dan
identiti Dayak yang relevan dan mendalam.
Ia kaya dengan unsur
budaya, ritual dan metafora yang memperkaya bacaan. Malah ia mengundan konflik
sosial dan psikologi yang tajam dengan dialog yang kuat. Menggunakan gaya
bahasa puitis-realistik-magis yang menambah aura khas dan memberikan pesan
moral dan refleksi filosofis yang menyentuh pembaca.